Pemeriksaan sistem sensori dilakukan
dengan memeriksa kondisi kelima sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran,
pembau, pengecap, dan peraba.
1.2.1 Pemeriksaan
Fisik Indra Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan dijelaskan cara melakukan
pemeriksaan mata yaitu:
- Pemeriksaan ketajaman
penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang
berfungsi sebagai indera penglihatan sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat
penting untuk bisa mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan
paling awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan
dalam rasio perbandingan jarak penglihatan normal seseorang dengan jarak
penglihatan yang dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya ketajaman
penglihatan 20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki
sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan
mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.
- Alat:
1)
Kartu Snellen
2)
Lampu senter
3)
Karton untuk menutup mata
- Indikasi: pada pasien yang
diduga mengalami gangguan sensori.
- Kontraindikasi: –
- Cara:
1)
Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman
penglihatan menggunakan kartu snellen ini yaitu:
- Pasien berdiri sejauh 6 meter
(20 kaki) dari kartu snellen.
- Minta pasien untuk menutup
salah satu mata dengan karton.
- Minta pasien untuk membaca huruf
yang ada pada kartu sampai pasien tidak dapat membaca lagi huruf tersebut.
2)
Menilai pasien dengan penglihatan buruk
Jika pasien tidak dapat membaca
huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien harus diperiksa menggunakan
kemampuan membaca jari tangan. Cara pemeriksaan menggunakan kemampuan membaca
jari tangan yaitu:
- Tutup salah satu mata pasien.
- Perawat berdiri di depan pasien
dengan menunjukkan angka pada jari perawat.
- Jika pasien tidak dapat melihat
jari perawat maka dilakukan pemeriksaan menggunakan cahaya.
Namun seringkali pemeriksaan sistem
penglihatan menghadapi kendala pada pasien anak-anak, orang dengan gangguan
mental, dan orang yang berpura-pura tidak melihat karena pemeriksaan ini
berfokus pada subyektif,yaitu interpretasi dari respon yang dirasakan pasien.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu teknik pemeriksaan yang berfokus
pada objektif dan memiliki korelasi dengan daya penglihatannya melalui alat
yang disebut nystagmometer.
Gambar:
Kartu Snellen
Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif yang disasarkan
pada gejala faal yang dikenal dengan nama “pursuit eye movement”, yaitu bahwa
mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu benda yang menjadi perhatiannya,
apabila benda tersebut bergerak (Sarwono: 1982). Peristiwa tersebut disebut
sebagai optokinetik nystagmus. Intinya, seseorang akan mengikuyi objek penyebab
nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang dapat menimbulkan gerakan bola
mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek tersebut, semakin baik daya
penglihatan orang tersebut.
Kelainan pada mata:
- Astigmatis
Astigmatis atau yang sering dikenal
dengan mata silindris merupakan suatu kelainan mata yang menyebabkan mata
penderitanya menjadi kabur. Gangguan ini terjadi akibat penderita tidak dapat
melihat garis horizontal dan vertical secara bersamaan. Kornea pada penderita
astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal berbentuk bulat seperti bola,
tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki lengkungan yang terlalu besar
pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis ini adalah dengan
menggunakan kacamata silinder atau lensa kontak.
- Miopi
Miopi atau rabun jauh merupakan
kelainan mata yang menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat dalam jarak
jauh. Penyebab dari miopi adalah bola mata yang terlalu panjang dan bayangan
benda yang jatuh di depan bintik kuning. Cara menangani miopi yaitu dengan
menggunakan kacamata cekung (negative).
- Hipermetropi
Hipermetropi atau rabun dekat
merupakan gangguan pada mata yang ditandai dengan penderita tidak dapat melihat
dengan jelas dalam jarak dekat. Penyebab dari hipermetropi ini yaitu adanya
kelainan bola mata yang terlalu pendek dan bayangan jatuh di belakang bintik
kuning. Cara menangani gangguan ini adalah dengan memakai kacamata lensa
cembung (positif).
- Presbiopi
Presbiopi atau rabun dekat dan jauh
merupakan gangguan mata yang ditandai dengan penderita tidak dapat melihat
dalam jarak dekat dan jauh. Penyebab dari gangguan ini adalah semakin
berkurangnya daya akomodasi dari mata. Cara mengatasi gangguan ini adalah
dengan memakai kacamata berlensa rangkap (atas negative, bawah positif).
- Rabun senja
Gangguan ini ditandai dengan
penderitanya tidak dapat melihat dengan baik saat malam hari atau kurang
cahaya. Penyebab dari gangguan ini adalah kurangnya vitamin A. cara mencegah
dan mengatasi masalah ini adalah dengan mengkonsumsi makanan kaya vitamin A.
- Keratomalasi
Gangguan ini ditandai dengan kornea
mata yang keruh yang penyebabnya kekurangan vitamin A yang sangat parah
sehingga penyakit ini merupakan tingkat lanjut dari rabun senja. Apabila hal
ini tidak segera diatasi akan menyebabkan kebutaan.
- Katarak
Kelainan pada lensa mata karena
lensa mata menjadi kabur dan keruh yang menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat
mencapai retina. Katarak dapat diatasi dengan cara operasi.
- Juling
Kelainan ini sebagai akibat
ketidakserasian kerja otot penggerak bola mata kanan dan kiri. Penyakit ini
bisa diatasi dengan cara operasi pada otot mata.
- Glaukoma
Gangguan ini ditandai dengan
peningkatan tekanan di dalam bola mata karena danya sumbatan pada saluran di
dalam bola mata dan pembentukan cairan berlebih dalam bola mata. Gangguan ini
bisa diatasi dengan cara pembedahan atau obat-obatan yang diminum seumur hidup.
- Buta Warna
Penderita umumnya tidak dapat
membedakan warna tertentu misal hijau dan biru. Penyakit ini merupakan penyakit
keturunan yang tidak dapat disembuhkan akan tetapi ada juga penyebab lainnya
misalkan saja karena kecelakaan atau trauma pada mata.
- Pemeriksaan lapangan pandangan
Cara yang paling mudah dalam
melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah menggunakan metode uji
telunjuk.
- Indikasi: pasien yang diduga
mengalami gangguan sensori.
- Kontraindikasi: –
- Cara:
1)
Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2)
Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3)
Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup mata
kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4)
Minta pasien memandang hidung perawat.
5)
Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior
lirikan temporal dan nasal.
- Pemeriksaan buta warna (tes
isihara)
Salah satu gangguan mata yang
bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna merupakan penglihatan
warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai cacat penglihatan
warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang merupakan gejala
dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan mata perlu
dilakukan tes isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar
pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan kepadatan warna yang berbeda,
berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang hamper sama. Titik-titik
warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa adanya kelainan
persepsi warna.
- Alat dan bahan:
Gambar pseudoisokromatik
b. Teknik:
- Kartu isihara diletakkan di
tempat dengan penerangan baik
- Pasien diminta menyebutkan
gambar atau angka pada kartu tersebut dalam 10 detik
c. Penilaian
Bila lebih dari 10 detik berarti
terdapat kelainan penglihatan warna buta warna merah hijau terdapat atrofi
saraf optik, buta warna biru kuning terdapat pada retinopati hipertensif,
retinopati diabetic dan degenerasi macula senile dini. Degenerasi pada macula
stargardts dan fundus lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna
merah-hijau.
d.Petunjuk Pengisian Gambar
No 1 : semua orang baik normal atau
buta warna dapat membaca dengan benar angka 12. Bagian ini biasanya digunakan
pada awal test.
No 2 : pada orang normal terbaca “8”
dengan defisiensi merah-hijau “3”.
No 3 : pada orang normal terbaca “5”
dengan defisiensi merah-hijau “2”.
No 4 : pada orang normal terbaca
“29” dengan defisiensi merah-hijau “70”.
No 5 : pada orang normal terbaca
“74” dengan defisiensi merah-hijau “21”.
No 6-7 : pada orang normal dapat
membaca dengan benar tetapi pada orang dengan defisiensi merah hijau, susah
atau tidak dapat membacanya.
No 8 : pada orang normal dengan
jelas “2” tetapi bagi defisiensi merah-hijau tidak jelas.
No 9 : pada orang normal susah atau
tidak terbaca tetapi kebanyakan pada orang dengan defisiensi merah hijau
melihat “2”.
No 10 : pada orang normal angka
terbaca “16” tetapi bagi defisiensi merah hijau tidak dapat membaca.
No 11 : gambar garis yang melilit
diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat mengikuti garis ungu-hijau. Tetapi pada
orang buta warna tidak dapat mengikuti atau dapat mengikuti tapi berbeda dengan
orang normal.
No 12 : pada orang normal dan
defesiensi merah hijau melihat angka “35” tetapi pada protanopia dan
protanomali berat hanya dapat membaca angka “5” dan pada deuteranopia dan
deuteranopia berat terbaca angka “3”.
No 13 : pada orang normal dan
defesiensi merah hijau ringan melihat angka “96” tetapi pada protonopia dan
protonopia berat hanya terbaca “6”.
No 14 : pada orang normal dapat
mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu dan merah; pada protanopia dan
protanomali berat hanya mengikuti garis ungu dan pada protanomali ringan kedua
garis diikuti tetapi garis ungu kurang terlihat untuk diikuti; pada
deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya garis merah yang diikuti; pada
deuteranomalia ringan kedua garis dapat diikuti tetapi garis merah kurang
terlihat untuk diikuti.
Gambar:
ishihara test
3.2.2 Pemeriksaan
Fisik Indra Pendengaran
Sama halnya dengan pemeriksaan mata,
dalam melakukan pemeriksaan telinga juga dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu:
- Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui
kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan kata(voice test) atau detakan jam
tangan.
- Alat: bel kecil
- Indikasi: dapat dilakukan pada
semua usia yang diduga mengalami gangguan sensori.
- Kontraindikasi: –
- Cara:
1)Bayi:
a)
Perawat berdiri di belakang anak.
b)
Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.
c)
Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek terkejut. Bayi
yang berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan menggerakkan mata atau
kepala mereka.
2)Anak usia prasekolah:
a)
Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.
b)
Berikan instruksi tertentu pada anak.
c)
Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.
3)Anak usia sekolah
a)
Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.
b)
Perintahkan anak untuk menutup telinganya.
c)
Bisikkan angka pada anak.
d)
Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.
e)
Lakukan pada telinga lainnya.
- Uji garputala
2.1 Uji weber
- Alat: garputala.
- Tujuan: untuk membedakan tuli
konduktif dan tuli sensorineural.
- Indikasi: bisa digunakan pada
anak-anak dan dewasa.
- Kontraindikasi: –
- Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak
tangan.
2)Letakkan garputalapada garis
tengah kepala pasien.
3)Tanyakan pada pasien letak suara
yang terdengar paling keras.
- Hasil: pada pasien
sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak terganggu.
Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga
yang terganggu.
Gambar:
tes weber
2.2 Uji rinne
- Alat: garputala.
- Tujuan: untuk membandingkan
hantaran udara dan tulang.
- Indikasi: dapat dilakukan pada anak
dan dewasa.
- Kontraindikasi:
- Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak
tangan.
2)Letakkan batang garputala ke
tulang mastoideus pasien.
3)Ketika pasien menunjukkan bahwa
suara tidak terdengar lagi, dekatkan gigi garputala ke meatus eksternus salah
satu telinga.
4)Lakukan cara yang sama pada
telinga lainnya.
Gambar:
rinne test
2.3 uji Scwabach
- Alat: garputala.
- Tujuan: untuk membandingkan
hantaran bunyi dari 2 subyek.
- Indikasi: dapat dilakukan pada
anak dan dewasa.
- Kontraindikasi: –
- Cara:
- Getarkan garputala yang
dipegang
- Letakkan ujung garputalapada
lubang telinga pasien
- Ketika pasien menunjukkan
bahwa suara tidak terdengar lagi,
- Lakukan cara yang sama pada
telinga subyek kedua atau pemeriksa
- Bandingkan hasilnya dari kedua
subyek tersebut
- Hasil:
1)Normal: anak akan mendengar suara
garputala di meatus eksternus setelah tidak terdengar di prosesus mastoideus
dan suara dapat terdengar sama baiknya.
2)Abnormal: pada kehilangan
pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan lewat udara lebih
baik dari pada lewat tulang dan segala suara diterima seperti sangat jauh dan
lemah.
3.2.3 Pemeriksaan
Fisik Pengecap.
Pada hakekatnya, lidah mempunyai
hubungan erat dengan indera khusus pengecap. Zat yang memberikan impuls
pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan. Ada empat kelompok
pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya
disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tastants atau zat yang memberikan
impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang
menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut
saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan
neuron).
Manifestasi klinis dari indera
pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis, gangguan pada indera
pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau menurut hasil
pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.
- Ageusia total adalah
ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan asam.
- Ageusia parsial adalah
kemampuan mengenali sebagian rasa saja.
- Ageusia spesifik adalah
ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.
- Hipogeusia total adalah
penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.
- Hipogeusia parsial adalah
penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.
- Disgeusia adalah kelainan yang
menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat pencetus rasa.
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa
bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi
olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas,
intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan
natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis
untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi
papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup
rasa masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya
gangguan rasa.
3.2.4 Pemeriksaan
Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan
didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan
(taktil) terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities dan testing
higher integrative functions. Basic sensory modalities (pemeriksaan
sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji
sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar
(pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative
functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis,
diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan
lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh
traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi nyeri dan suhu dihantarkan
oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut saraf
akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus
lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke
korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus
tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.
- Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)
- Uji sensasi nyeri dan sentuhan
Uji sensasi nyeri dan sentuhan
terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-tumpul) dan nyeri
tekan.
1)
Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan
menggunakan benda yang memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut
dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada reflek hammer. Pasien dalam
keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan pengkajian respon
melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi 2
stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun kesulitandan
ketidakmampuan dalam membedakan sensasi, maka hal ini mengindikasikan
adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia
pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia
dan hiperestesia.
2)
Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan
mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering
digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial, suhu, dan raba) dan
uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie
sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon
Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan
sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.
- Uji sensasi suhu
Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih
direkomendasikan apabila pasien terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini
dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode ini
menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien diminta untuk
membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak dapat
membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove
and stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer).
- Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan
menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat juga dengan menggunakan
bola kapas. Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta
menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola
kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan
sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam
menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji
sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.
- Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam
sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan dan menggerakkannya ke arah
gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari menggenggam
ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi
sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh). Pasien yang dalam
keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.
Selain itu, uji ini juga dapat
dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi metakarpalia palangeal untuk
telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat diskriminasi sebesar 1
sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk
kaki besar.
- Uji sensasi vibrasi
(pallestesia)
Uji sensasi vibrasi dilakukan
menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz) yang diletakkan
pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian pasien diminta
untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia dapat merasakan
sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi getaran,
maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan
sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik
di ibu jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70
tahun-an merasakan sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15 detik.
- Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan
kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar sebuah objek pada ujung jari. Uji
ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan subkutan untuk
mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini diutamakan pada
penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.
- Testing higher integrative
functions(uji
fungsi integratif tertinggi)
- Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan
untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda
yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien dapat
mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan identifikasi
benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada kolumna
posterior atau korteks sensori.
- Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan
metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik pin yang berada pada
permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat
mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan
untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya
gangguan identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna
posterior atau korteks sensori.
- Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode
penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta untuk mengidentifikasi angka
yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat menggunakan ujung
tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka
menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
- Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji
sensori yang menggunakan metode sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini
dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh,
misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa
menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu
sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi sensoris.
- Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode
didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara
memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan meminta pasien
untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan. Adanya
penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan
identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori
sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi
tersebut.
2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu
dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh
saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman
dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia
menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini
dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius
sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan
iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus
dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia)
dapat diakibatkan oleh proses patologis sepanjang olfaktorius yang hampir
serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek konduktif maupun defek
sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi
stimulus bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung
melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari
gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi
infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki
sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau spesifik (satu atau
sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:
- Anosmia merupakan
ketidak-mampuan mendeteksi bau
- Hiposmia merupakan penurunan
kemampuan mendeteksi bau
- Disosmia merupakan distorsi
identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)
- Parosmia merupakan perubahan
persepsi pembauan
- Phantosmia merupakan persepsi
bau tanpa adanya sumber bau
- Agnosia merupakan ketidakmampuan
menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.
Etiologi dari gangguan penciuman
adalah sebagai berikut.
- Defek konduktif
- Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat
menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik. Rintitis dan
sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi abnormalitas
sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius
tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.
- Massa/tumor
Adanya massa pada rongga hidung
mengakibatkan perubahan structural dalam kavum nasi berupa polip, neoplasma,
maupun deviasi septum nasi sehingga dapat menghalangi aliran odoran (zat yang
menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.
- Abnormalitas developmental
Amnormalitas developmental dapat
berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang mengakibatkan obstruksi pada
roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktori.
- Defek sensorineural
- Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat diakibatkan
infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis yang mempengaruhi struktur
saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat pada destruksi
neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus
odoran) ke epitel olfaktorius.
- Penyebab congenital
Congenital dapat menjadi faktor
penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan kelainan yang bersifat
congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya, Kallman syndrome
mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan
hipogonadisme hipogonadotropik.
- Gangguan endokrin
Gangguan endokrin seperti diabetes
mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme dapat mempengaruhi fungsi
pembauan berupa gangguan persepsi bau.
- Trauma kepala
Trauma kepala pada basis fossa
kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat proses pembedahan kepala
atau saraf dapat menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya fila
olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.
- Toksisitas obat sistemik
Obat-obatan yang dapat mengubah
sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol, amfetamin, kokain tropical,
aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).
- Defisiensi gizi
Defisiensi gizi berupa vitamin A,
thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi fungsi pembauan.
- Penurunan jumlah serabut bulbus
olfaktorius
Penurunan serabut bulbus olfaktorius
sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius
dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.
- Proses degenerative.
Proses degenerative pada sistem
saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer, dan proses penuaan normal
dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan
merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi
penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling
pesat terjadi pada usia 70an.
Untuk mengidentifikasi adanya
gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi
kualitatif dan ambang batas deteksi.
- Pemeriksaan fisik untuk emenentukan
sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan
sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran
berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan
lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan
kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.
Sedangkan saat ini terdapat beberapa
metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:
- Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil
bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien
untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.
- Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan
persepsi bau secara kasar dengan menggunakan paket alkhohol isopropil yang
dipegang pada jarak 12 inci.
- Scratch and sniff card
Metode ini menggunakan kartu yang
memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar
- The University of Pennsylvania
Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk
menguji penciuman dan paling direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item
pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan
seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40.
Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya
sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.
- Pemeriksaan fisik untuk
emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau
menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan menggunakan rangsangan
bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui
ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar