INDERA
PENGHIDUNG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah dengan judul
Indera Penghidu. Makalah Indera Penghidu ini merupakan tugas mata
kuliah Anatomi dan Fisiologi Manusia II.
Melalui makalah yang berjudul Indera Penghidu ini yang diharapkan
dapat menunjang nilai penulis di dalam mata kuliah Anatomi dan Fisiologi
Manusia II. Selain itu, dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi
yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.
Pada kesempatan ini penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dr. Delima Fajar Liana selaku dosen pembimbing
serta kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam penulisan makalah Indera Penghidu ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini
di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Pontianak, 27
November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I – PENDAHULUAN 1
1.
Latar Belakang 1
2.
Tujuan 1
3.
Rumusan Masalah 1
BAB II – TINJAUAN
PUSTAKA 2
1.
Definisi Indera Penghidu 2
2.
Anatomi Hidung 2
3.
Fisiologi Hidung 7
4.
Proses Penciuman 10
5.
Kelainan pada Indera Penghidu 10
BAB III – PENUTUP 12
1.
Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar 3
Gambar 2. Anatomi Hidung dan
Cavum Nasi 4
Gambar 3. Membrane
Mukosa Olfaktorius 5
Gambar 4. Sirkuit
Saraf Dasar di Bulbus Olfaktorius 6
Gambar 5. Sirkuit
Penghidu 7
Gambar 6. Arus Proses
Penciuman 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Panca indera pada manusia merupakan
sekumpulan reseptor tertentu yang terlokalisasi dan merupakan paling ujung yang
dapat menerima rangsangan-rangsangan (stimulus) dari lingkungan untuk direspon
oleh tubuh (efektor). Salah satu dari panca indera tersebut adalah indera penghidu.
Indera
penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja
bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu
terdapat di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf
olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid
menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii posterior. Anatomi berikut mekanisme
(fisiologi) dari indera penghidu patut diketahui supaya kita dapat
mengetahuinya secara lebih rinci.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Menjelaskan definisi indera penghidu manusia
2.
Menjelaskan anatomi dan fisiologi indera penghidu manusia
1.3 Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan indera penghidu?
2. Bagaimana
anatomi dan fisiologi dari indera penghidu manusia?
3. Bagaimana
proses penciuman manusia?
4. Apa
saja kelainan pada indera penghidu manusia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Indera Penghidu
Hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan)
yang erat hubungannya dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan
merupakan kombinasi penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merupakan
kemoreseptor yang dirangsang oleh molekul larutan di dalam mukus. Reseptor
penciuman juga merupakan reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak
disalurkan dalm talamus dan tidak di proyeksikan neokorteks bagi penciuman.
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal
dari makanan. Pada manusia, bau mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan
atau membangkitkan rasa penolakan dan keterlibatan memori, selain itu bau juga
penting untuk nafsu makan.
2.2 Anatomi
Hidung
a. Hidung
Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan
bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung (bridge),
dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang
hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal
os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior
(kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi
medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan
tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus
frontal os maksila.
Gambar
1. Anatomi Hidung Luar
Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang
berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk
oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh
prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis
anterior.
b. Hidung
Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis
tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral
hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media dan
inferior.
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah
kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga
kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa
berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan
dengan demikian dapat mengganggu penciuman.
Gambar 2. Anatomi Hidung dan
Cavum Nasi
·
Membrane Mukosa
Olfaktorius
Sel
reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus, yaitu
membrane mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada anjing dan hewan
lain dengan indra penghidu yang sangat berkembang (hewan makrosmatik), cakupan
daerah membrane ini luas; pada hewan mikrosmatik membrane ini kecil. Pada
manusia daeraj ini luasnya 5 cm2 berada di atap rongga hidung dekat septum.
Membrane ini mengandung sel-sel penunjang dan sel-sel calon reseptor penghidu.
Diantara sel ini terdapat 10-20 juta sel reseptor. Setia reseptor penghidu
adalah neuron, dan di tubuh, membrane mukosa olfaktorius merupakan system saraf
yang terletak paling dekat dengan dunia luar. Setiap neuron memiliki dendrite
pendek tebal dengan ujung melebar yang disebut batang olfaktorius. Dari batang
ini, timbul tonjolan silia yang merebak kepermukaan mucus. Silia adalah
prosesus tidak bermielin sengan panjang 2µm dan garis tengah 0,1µm. untuk
setiap neuron terdapat 10-20 silia. Akson neuron reseptor penghidu menembus
lamina kribiformis tulang etmiod dan
masuk ke bulbus olfaktorius.
Gambar 3. (a)
lokasi (b) struktur mukosa olfaktorius
Neuron
penghidu, seperti reseptor pengecapan, tidak seperti neuron lainnya, selalu
diperbarui dengan waktu paruh beberapa minggu. Perbaruan sel olfaktorius ini
merupakan proses yang diatur, dana ada bukti bahwa pada proses ini, protein
morfogenik tulang (bone morphogenic
protein, BMP) member pengaruh inhibisi. BMP merupakan golongan factor
pertumbuhan yang sebelumnya disebutkan sebagai zat perangsang (promotor)
pertumbuhan tulang, tetapi sekarng diketahui bekerja pada bermacam-macam
jaringan tubuh selama pertumbuhan, termasuk berbagai sel saraf.
Membrane
mukosa olfaktorius selalu ditutupi oleh mucus, mucus ini dihasilkan oleh
kelenjar Bowman, yang terletak tepat di bawah lamina basal membrane.
·
Bulbus Olfaktorius
Pada
bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer sel mitral
dan tufted cells untuk membentuk
sinap globular kompleks yang disebut glomerolus olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari pada sel mitral dan memilki
akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim aksonnya menuju korteks
penghidu serta bagian otak lain, dan tanpaknya merit jika ditinjau dari segi
fungsi. Rata-rata 26.000 akson sel reseptor berkonvergensi pada setiap
glomerolus. Selain sel mitral dan sel tufted, bulbus olfaktorius mengandung sel
periglomeruler, yaitu neuron inhibisi yang menghubungkan satu glomerolus dengan
glomerolus lainya, dan sel granula, yang tidak memunyai akson dan membentuk
sinaps timbale balik (resiprokal) dengan dendrite lateral sel mitral dan sel
tufted . di sinaps ini, sel mitral dan sel tufted merangsang sel granula dengan
pelepasan glutamate, sedang di sisi sel granula sinaps akan menghambat sel mitral
dan sel tufted dengan mengeluarkan GABA.
Gambar 4. sirkuit
saraf dasar di bulbus olfaktorius
·
Korteks Olfaktorius
Akson
sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria olfaktorius
intermedia dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius. Akson sel
mitral berakhir di dendrite apical sel pyramid di korteks olfaktorius. Pada
manusia, tindakan mengendus-endus akan menggiatkan korteks piriformis, tetapi
menghidu dengan atau tanpa mengendus-endus menggiatkan girus orbitofrontal
lateral dan anterior dari lobus frontalis. Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih besar pada sisi kanan dari
pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi penghidu pada korteks bersifat
asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang mungkin berperan dalam respon
emosi terhadap rangsang penghidu, dan ke korteks entorinal, yang berperan dalam
ingatan penghidu.
Gambar 5. sirkuit penghidu
2.3 Fisiologi
Hidung
Fungsi
hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara dan
reflek nasal.
a. Sebagai
jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media kemudian turun kearah
nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti saat
inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares anterior
dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
udara nasofaring.
b. Pengatur
kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan
cara mengatur kelembaban udara dan
mengatur suhu.
c. Sebagai
penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk
membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut
lisozim.
d. Indera
penghidu
Hidung bekerja sebagai indera
penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
Epitel olfaktorius adalah
epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel
saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar
olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan
mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang
terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak sel terdapat
dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan epitel,
kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori
stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar,
indera penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat
elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor
yang bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik
membutuhkan partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan
eterial, kamper, “musky”, wangi
bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel,
merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua
atau lebih reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa
kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah interaksi antara vibrasi dengan organ
reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan impuls pada nervus
olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh
larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan
timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke
bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai
aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus.
Ujung proksimal sel
olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1 mikrometer, yakni
akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan 20 filamen
disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan
memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.
Di dalam bulbus olfaktorius
akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel mitral dan akson
ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang berjalan
sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks piriformis,
komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior
kapsula interna dengan hubungan sekunder.
e. Resonansi
suara
Resonansi oleh hidung penting
untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia).
f. Proses
bicara
Hidung membantu proses
pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara.
g. Refleks
nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh:
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan
bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.4 Proses
Penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang
mengandung sel- sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung
saraf pembau atau saraf kranial (nervus alfaktorius), yang
selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk
menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia
tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi
mencapai reseptor pembau.
Gambar 6. Arus Proses Penciuman
Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga
terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit. Kemudian timbul
impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu
bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf otak ke I ini menembus
lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps dengan
neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah pembau primer
pada korteks otak untuk diinterpretasikan.
2.5 Kelainan
pada Indera Penghidu
Kelainan
penghidu disebut dengan “osmia”, diantaranya adalah:
a.
Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau
b.
Hiposmia : penurunan kemampuan dalam
mendeteksi bau
c.
Disosmia : distorsi identifikasi bau
d.
Parosmia : perubahan persepsi
pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau tidak enak
e.
Phantosmia : persepsi bau tanpa
adanya sumber bau
f.
Agnosia : tidak bisa menyebutkan
atau membedakan bau, walaupun penderita dapat mendeteksi bau.
Gangguan
pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau
spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada
manusia telah telah ditemukan beberapa lusin jenis anosmia yang berbeda;
kelainan-kelaina ini diperkirakan desebabkan oleh tidak adanya atau gangguan
fungsi salah satu dari banyak kelompok reseptor bau. Ambang penghidu meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dan lebih dari 75% orang berusia di atas 80
tahun mengalami gangguan mengidentifikasi bau.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Hidung
merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat hubungannya dengan
gastrointestinalis. Olfaktori
adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan.
2. Anatomi
hidung manusia terbagi menjadi dua, yaitu hidung luar dan hidung dalam.
3. Fisiologi
hidung manusia antara lain refleks nasal, proses bicara, resonansi suara, indera
penghidu, sebagai penyaring dan pelindung, pengatur kondisi udara, dan sebagai
jalan nafas.
4.
Kelainan pada indera
penghidu antara lain anosmia, hiposmia, disosmia,
parosmia, phantosmia, agnosia.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, JJ. 1994. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara.
Dhingra,
PL. 2007. Disease of Ear, Nose and Throat.
4th ed. India: Elsevier.
Despopoulos,
Agamemnon et al. 2003. Color Atlas
of Physiology 5th Ed. New York: Thieme.
Encarta.
Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The
Nose.html.
[diakses tanggal 24 November 2012].
Greenstein, Ben.
2000. Color Atlas of Neurosciences, Neuroanatomy
and Neurophysiology. New York:
Thieme.
Hilger, PA. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit
THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.
Mangunkusumo,
E. 2001. Gangguan Penghidu dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA,
Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soetjipto,
D., Mangunkusumo, E. 2001. Sumbatan
Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Vander. 2001. Human Physiology - The Mechanism of Body
Function, 8th ed. New York: McGraw-Hill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar