Rabu, 26 September 2018





BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etika adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu atau komunitas. Aturan bertindak ini ditentukan oleh setiap kelompok masyarakat, dan biasanya bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi, serta tidak tertulis. Sedangkan hukum adalah aturan berperilaku masyarakat dalam suatu masyarakat atau negara yang ditentukan atau dibuat oleh para pemegang otoritas atau pemerintah negara, dan tertulis. Baik etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan damai. Oleh sebab itu, semua anggota masyarakat harus mematuhi etika dan hukum ini. Apabila tidak, maka bagi para pelanggar kedua aturan perilaku ini memperoleh sanksi yang berbeda. Bagi pelanggar etika sanksinya adalah “moral”, sedangkan bagi pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata). Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku petugas kesehatan harus tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode etik profesi, maka akan memperoleh sanksi “etika” dari organisasi profesinya. Dan mungkin juga apabia melanggar ketentuan peraturan atau perundang-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum (pidana atau perdata). Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam akses informasi, era globalisasi atau kesejagatan membuat akses informasi tanpa batas, serta peningkatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis. Disisi lain menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan etik. Selain itu perubahan gaya hidup, budaya dan tata nilai masyarakat, membuat masyarakat semakin peka menyikapi berbagai persoalan, termasuk memberi penilaian terhadap pelayanan yang diberikan petugas kesehatan. Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang semakin maju telah membawa manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan, sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan menghadapi masalah hukum terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap dan kemampuannya dalam menjalankan profesi kesehatan. Ketika masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan atau apabila seorang petugas kesehatan merugikan pasien, tidak menutup kemungkinan untuk di meja hijaukan.
            Bahkan didukung semakin tinggi peran media, baik media massa maupun elektronik dalam menyoroti berbagai masalah yang timbul dalam pelayanan kesehatan, merupakan hal yang perlu diperhatikan dan perlu didukung pemahaman petugas kesehatan mengenai kode etik profesi dan hukum kesehatan, dasar kewenangan dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan suatu pedoman ynag komprehensif dan integratif tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang petugas kesehatan, pedoman tersebut adalah kode etik profesi. Kode etik profesi penting diterapkan, karena semakin meningkatnya tuntutan terhadap pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum masyarakat tentang prinsip dan nilai moral yang terkandung dalam pelayanan profesional. Kode etik profesi mengandung karakteristik khusus suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi harus diperhatikan dan mencerminkan kepercayaan serta tanggung jawab yang diterima oleh profesi dalam kontrak hubungan profesional antara tenaga kesehatan dan masyarakat. Masyarakat memberi kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk melaksanakan kewajibannya dalam memutuskan dan melakukan tindakan berdasarkan pada pertimbangan terbaik bagi kepentingan masyarakat (penerima layanan kesehatan) yang mengacu pada standar praktik dan kode etik profesi. Kode etik adalah seperangkat prinsip etik yang disusun atau dirumuskan oleh anggota-anggota kelompok profesi, yang merupakan cermin keputusan moral dan dijadikan standar dalam memutuskan dan melakukan tindakan profesi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika dalam pelayanan kesehatan ?
2. Apa saja sanksi bagi tenaga kesehatan yang melanggar etika?

























BAB II PEMBAHASAN


A. Pengertian Etika Pelayanan Kesehatan
Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik terutama pelayanan kesehatan berhasil diberikan melalui suatu sistem yang sehat. Pelayanan kesehatan ini dapat dilihat sehari-hari di RSUD ataupun puskesmas-puskesmas. Tujuan pelayanan kesehatan adalah menyediakan obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan kesehatan yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap masyarakat, kalau perlu melebihi harapan masyarakat. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan (health service) identik dengan memberikan pelayanan jasa demi kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen pelayan kesehatan seperti para tim medis melakukan pelayanan, dimana pelayanan kesehatan identik dengan pengobatan yang merupakan bagian dari manajemen ilmu kesehatan.
1. Pentingnya Etika Pelayanan Kesehatan
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi dan politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan kesehatan. salah satunya jasa pelayanan kesehatan. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik dalam kebijakan pentingnya pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para tim medis yang beprofesi dibidang pelayanan kesehatan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.
 Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan  prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan kesehatan mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb
 Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundang-undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali,sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
 Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan kesehatan. Kode etik pelayanan kesehatan di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli keperawatan, kebidanan dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk mengenyampingkan kepentingan masyarakat umum. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai yang bekerja dibidang kesehatan.
 Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku dalam pelayanan kesehatan masih kurang maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan  jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.
 Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang-orang elit atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi masyarakat yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi masyarakat terutama dalam pelayanan kesehatan.
 Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita akan melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, mulai dari preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif. Program Dinkes yang telah ada tidah sepenuhnya berjalan dengan lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan yang ditemui dalam masyarakat.

B.Cara Mengatasi Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan
 Lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan kesehatan itu sendiri.Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia(concern for people)dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
 Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan kesehatan telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan kesehatan yang telah memiliki kode etik.
 Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap berbagai dilema di atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan kesehatan harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan

C. Sanksi-sanksi bagi petugas kesehatan yang melanggar kode etik

sanksi I : Diberikan teguran secara lisan dan dilakukan pembinaan

sanksi II : Diberikan teguran secara tertulis dan dilakukan pembinaan

sanksi III : Diberikan sanksi hukuman (denda/penjara)

catatan : sanksi diberikan tergantung dari besarnya pelanggaran yang dilakukan.






BAB III
PENUTUP

Etika pelayanan kesehatan adalah suatu pemahaman akan asas norma dan nilai yang berlaku di masyarakat dalam tindakan medis pemberian obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Naska Role Play dan Makalah Komunikasi Terapiutik Di UGD

  BABI PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan ...