MAKALAH
MASALAH
PENGANGGURAN SUATU NEGARA
Menurut
Keynes
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian
pengangguran................................................
B. Jenis-Jenis
Pengangguran.................................................
C. Sebab-sebab
pengangguran..............................................
D. Dampak-Dampak Pengangguran.....................................
E. Cara mengatasi
Pengangguran..........................................
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................
B. Saran................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA
yang telah memberikan rahmat sertakarunianya kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul “Pengangguran di Indonesia”.
Makalah ini berisikan tentang masalah-masalah
ketenagakerjaan serta pengangguran di Indonesia.Yang mana masalah tersebut
setiap hari selalu berkembang dan bertambah.Serta dalam makalah ini juga
membahas tentang cara-cara serta upaya pemerintah dalam menghadapi masalah
pengangguran di Indonesia.
Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Palu, 18 April 2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pengangguran bukanlah
hal yang negatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Belanda, Austrlia, Jepang, dan Singapura masih terdapat pengangguran,
hanya saja jumlahnya tidak sebesar di negara-negara berkembang seperti
Indonesia, India, Vietnam, dan Thailand.
Pada permulaan tahun
1930-an terjadi depresi ekonomi yang sangat serius di berbagai negara di dunia.
Hal ini mendorong ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes untuk mengevaluasi
pandangan-pandangan para ekonom klasik (ahli-ahli ekonomi yang hidup antara
zamannya Adam Smith dan zamannya Keynes). Keynes pada tahun 1936 menerbitkan
suatu buku yang berjudul: “The General Theory of Employment, Interest and
Money”. Menurut Keynes, kesempatan kerja penuh tidak selalu dicapai dalam
perekonomian sehingga perekonomian selalu menghadapi masalah pengangguran.
Pengangguran timbul karena tidak semua tenaga kerja dalam perekonomian
digunakan untuk kegiatan memproduksi, hal ini diakibatkan oleh keinginan
masyarakat (secara agregat) untuk berbelanja adalah lebih rendah dari kemampuan
perekonomian untuk memproduksikan barang dan jasa. Dengan kata lain,
pengeluaran agregat yang sebenarnya adalah lebih rendah daripada yang
diperlukan untuk mencapai kesempatan kerja penuh sehingga terjadilah
pengangguran.
Keynes tidak percaya
pada kemampuan mekanisme pasar, misalnya, upah buruh tidak dapat turun
se-enaknya karena adanya undang-undang yang mengatur upah minimum. Jadi, dalam
kondisi resesi sekalipun, tidak mungkin upah buruh diturunkan. Kalaupun
berhasil menurunkan, diperlukan proses negosiasi yang panjang antara
perusahaan, serikat buruh, dan pemerintah. Proses ini semakin memperparah
ekonomi. Itupun akan berhasil bila terjadi kesepakatan penurunan upah. Yang
sering terjadi, negosiasi upah cenderung menaikkan upah, seperti yang kita
alami selama ini. Dalam hal ini, Keynes menggunakan stimulasi fiskal untuk
menaikkan dan menurunkan aktivitas ekonomi.
Mengapa Pengangguran
Harus Dihindari ? Pada dasarnya, dalam jangka panjang pengangguran dapat
menimbulkan efek tidak baik bagi masyarakat sehingga masalah pengangguran harus
dihindari atau dikurangi jumlahnya. Tingginya tingkat pengangguran menunjukkan
kegagalan dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan, tingginya tingkat
pengangguran menyebabkan produksi suatu negara tidak mencapai tingkat maksimum
atau tingkat potensial.
Selain itu,
pengangguran juga berdampak langsung pada individu penganggur tersebut. Para
penganggur secara ekonomi tidak memiliki sumber pendapatan, sehingga mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berdampak pada masalah sosial,
termasuk masalah kriminal dengan motif ekonomi.
Selanjutnya, pengangguran dapat menimbulkan masalah
psikologis. Para penganggur memiliki kecenderungan dianggap sebagai masyarakat
kelas dua karena dinilai tidak memiliki kemampuan untuk bersaing.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Salah satu ukuran
keberhasilan pengelolaan ekonomi suatu negara adalah tingkat pengangguran.
Pertanyaan mendasar adalah : apa yang dimaksud dengan pengangguran ? Apakah
setiap orang yang tidak bekerja disebut penganggur ? Bagaimana mengukur pengangguran
? Apa hubungan pengangguran dengan kemakmuran ? Bab ini akan menguraikan
tentang pengangguran dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dari total di atas 200
juta penduduk Indonesia, hanya sebagian saja yang bekerja, sebagian besar
lainnya tidak bekerja. Mereka yang bekerja adalah mereka yang berminat untuk
bekerja, telah berusaha mencari atau menciptakan pekerjaan, dan berhasil
mendapatkan pekerjaan. Ada beberapa alasan seseorang tidak bekerja. Sebagian
dari mereka adalah orang yang telah dan sedang berusaha mendapatkan atau
mengembangkan pekerjaan, tetapi belum berhasil. Sebagian lagi baru berniat
untuk tidak bekerja, misalnya orang yang sedang kuliah atau sekolah termasuk
orang yang tidak sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Orang yang memutuskan
menjadi ibu rumah tangga penuh juga termasuk yang tidak berusaha mencari
pekerjaan.
Pemilihan antara mereka
yang tidak bekerja dan tidak berniat mencari pekerjaan, dengan mereka yang
tidak bekerja dan sedang berusaha mendapatkan atau mengembangkan pekerjaan,
sangat penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan penurunan
pengangguran ditujukan untuk mereka yang berusaha mendapatkan atau
mengembangkan pekerjaan.
Pengangguran
(unemployment) tidak berkaitan dengan mereka yang tidak bekerja (siswa,
mahasiswa, ibu rumah tangga), tetapi tidak atau belum menemukan pekerjaan.
Jadi, tenaga pengangguran atau tunakarya adalah mereka yang ingin bekerja,
sedang berusaha mendapatkan atau mengembangkan pekerjaan, tetapi belum berhasil
mendapatkannya atau menemukannya, dan bekerja kurang dari dua hari selama
seminggu. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau
para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang
mampu menyerapnya. Definisi lain tentang pengangguran adalah level tidak adanya
pekerjaan di antara orang-orang yang aktif mencari pekerjaan. Dalam hal ini,
pengangguran ditimbulkan oleh keberadaan orang-orang yang bekerja. Apabila
semua orang bekerja, tidak akan terdapat pengangguran di suatu negara.
2. Angkatan Kerja
Angkatan kerja adalah
seluruh penduduk yang berusia 18 sampai 60 tahun, yang memiliki keinginan untuk
bekerja, atau sedang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Orang usia
kerja yang tidak sedang mencari pekerjaan dianggap sebagai penganggur sukarela
dan karenanya tidak termasuk dalam angkatan kerja. Karena itu, ukuran angkatan
kerja dan jumlah penganggur dapat dinilai lebih banyak daripada yang sebenarnya
ketika sejumlah pekerja, setelah mencoba mencari pekerjaan, menjadi putus asa
dan berhenti mencari pekerjaan. Hal ini merupakan suatu fenomena negatif yang
terjadi di Indonesia.
3. Kategori Penganggur
Pengelompokan
penganggur berdasarkan alasan mereka menganggur. Cara ini mengelompokkan
penganggur ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Pengangguran Friksional (Frictional
Unemployment)
Pengangguran friksional
adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala
waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka
lamaran pekerjaan. Dengan kata lain, mereka menganggur karena sedang dalam
proses peralihan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya atau mereka yang
belum diterima bekerja ketika memasuki angkatan kerja. Misalnya, seorang
mahasiswa yang baru lulus kuliah melamar pekerjaan, ketika belum diterima bekerja, ia termasuk
penganggur friksional. Atau orang yang ingin beralih profesi, ketika ia belum
diterima bekerja untuk profesi yang diminatinya, ia termasuk penganggur jenis
ini. Atau sesorang yang pindah kota sehingga ia keluar dari pekerjaan dan
mencari pekerjaan baru di kota yang dituju. Selama ia menganggur, ia termasuk
penganggur friksional.
2. Pengangguran Struktural (Structural
Unemployment)
Pengangguran struktural
adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu
memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Dengan kata lain,
ada ketidakcocokan antara keahlian yang dimiliki dengan jenis kebutuhan tenaga
kerja yang dicari. Hal ini disebabkan oleh keahlian penganggur yang tidak cocok
dengan lowongan pekerjaan, artinya lowongan perkerjaan tetap ada tetapi tidak
cocok dengan keahlian penganggur. Misalnya, saat ini pemerintah sedang
menggalakkan pajak sehingga dibutuhkan banyak konsultan pajak, tetapi yang
tersedia di pasar tenaga kerja adalah manajer atau ahli ekonomi bukan pajak.
Penganggur seperti ini paling banyak disebabkan oleh kemajuan teknologi, mereka
yang ahli dengan teknologi tradisional tidak akan dapat mengoperasikan
teknologi modern sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk bersaing.
3. Pengangguran Musiman (Seasonal
Unemployment)
Pengangguran musiman
adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek
yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya seperti petani yang
menanti musim tanam, tukang jualan durian yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal
adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi
sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja. Dengan
kata lain, pengangguran siklikal disebabkan oleh kondisi ekonomi yang sedang
mengalami resesi atau kondisi menurun dalam siklus ekonomi sehingga lapangan
kerja jarang. Artinya, pengangguran siklikal terjadi ketika GDP rill lebih
kecil dari GDP potensial. Dalam kondisi seperti ini, persaingan tenaga kerja
sangat ketat.
Pengangguran dapat pula
dikategorikan menurut seberapa intensif dia menganggur, antara lain:
1. Penganggur Penuh
Penganggur jenis ini
adalah mereka yang ingin bekerja, berusaha mendapat dan mencari pekerjaan,
tetapi tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Dengan kata lain, penganggur
penuh tidak melakukan aktivitas yang menghasilkan atau tidak memiliki
penghasilan.
2. Setengah Penganggur
Penganggur jenis ini
adalah mereka yang bekerja tetapi kurang dari 35 jam dalam seminggu. Sebagai
standar umum di Indonesia dan kebanyakan negara, seorang pekerja memiliki
kewajiban untuk bekerja selama 35 jam dalam seminggu. Dengan kata lain, mereka
yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dianggap bekerja tetapi tidak
penuh, atau menganggur tetapi tidak sepenuhnya menganggur.
3. Penganggur Terselubung
Penganggur jenis ini
adalah mereka yang nampak bekerja untuk mendapatkan upah, tetapi pekerjaan yang
dilakukan tidak produktif. Biasanya pekerjaan yang dilakukan diciptakan oleh
Pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja sementara pada saat kondisi ekonomi
tidak baik. Artinya, pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga
kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang dengan tujuan mengurangi
jumlah pengangguran.
4. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran
adalah persentase dari angkatan kerja total yang tidak bekerja. Semakin besar
jumlah penduduk, maka semakin besar pula angkatan kerjanya. Apabila jumlah
angkatan kerja ini bisa diimbangi dengan kesempatan kerja, maka pengangguran
akan sedikit. Namun sebaliknya, apabila kesempatan kerja tidak bisa
mengimbangi, maka jumlah pengangguran meningkat.
Tingkat kesempatan
kerja penuh (full employment) terjadi ketika tidak terdapat pengangguran
siklikal namun terdapat pengangguran friksional dan stuktural dalam jumlah yang
normal. Dengan kata lain, kesempatan kerja penuh terjadi ketika tingkat
pengangguran lebih besar daripada nol. Hal ini disebut sebagai tingkat
pengangguran alamiah.
Angkatan kerja adalah
mereka yang memiliki keinginan untuk bekerja. Selisihnya, yaitu 49 juta tidak
termasuk angkatan kerja, karena berada pada usia kerja tetapi tidak berminat
atau tidak mencari pekerjaan. Mereka adalah siswa atau mahasisiwa (sekalipun
ada yang sambil bekerja, mereka diasumsikan tidak mencari pekerjaan), ibu rumah
tangga penuh, dan penduduk usia kerja yang dikarenakan kondisi fisik mereka
tidak dapat bekerja sehingga tidak mencari kerja.
Dari 103 juta angkatan
kerja, terdapat 92 juta diantara mereka yang sudah bekerja, atau disebut
pekerja. Sisanya, yaitu di atas 11 juta orang, merupakan penganggur, yang
mencapai 11,4 % dari angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2003.
5. Dampak Terburuk dari
Pengangguran
Pengangguran dalam
jangka panjang dapat berdampak buruk, yaitu semakin menigkatnya angka
kemiskinan. Seorang penganggur sudah pasti tidak memiliki penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, akibatnya ia akan hidup miskin. Orang miskin
memiliki kcenderungan terbelakang dalam melakukan berbagai hal seperti
keterbatasan memanfaatkan fasilitas umum dan fasilitas sosial (pendidikan,
rumah sakit), kurangnya perlindungan terhadap hak-hak mereka, dan sebagainya.
6. Sejauh Mana
Pengangguran Perlu Ditekan
Pertanyaannya, sejauh
mana Pemerintah perlu menekan pengangguran ? Apakah sampai pengangguran
mencapai nol persen ? Jawabannya, tidak perlu sama dengan nol persen. Mengapa ?
Seperti disampaikan di atas, ada sekelompok penganggur, yang disebut dengan
penganggur friksional, yang dengan sukarela meninggalkan pekerjaan untuk
mencari pekerjaan lainnya.
Pemerintah tidak perlu
dipusingkan oleh mereka. Dan jumlah mereka itulah yang bisa ditoleransi sebagai
tingkat pengangguran yang wajar. Dan definisi ekonomi penuh, istilah yang
banyak digunakan dalam artikel di surat kabar, juga memberi toleransi terhadap tingkat
pengangguran.
Secara umum,
pengangguran maksimum 5 % dari angkatan kerja sudah dianggap bagus, dan ekonomi
sudah dianggap berada pada ekonomi penuh.
7. Penanggulangan
Pengangguran
Jumlah pengangguran
tampaknya terus bertambah dari waktu ke waktu. Data yang ditunjukkan tabel 2.1
tidak lagi akurat mengingat antara tahun 2003 sampai 2005 terjadi banyak
perubahan. Setiap tahun sekitar 1,3 juta penduduk tamat sekolah dan masuk ke
bursa kerja. Sedangkan 1 % pertumbuhan ekonomi saat ini hanya mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 200 ribu. Dengan demikian, diperlukan paling tidak 6,5 %
pertumbuhan ekonomi setiap tahun untuk dapat menyerap angkatan kerja baru.
Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak krisis 1997 selalu di
bawah 6 %. Dengan demikian, jumlah penganggur terus bertambah.
Menurut Bank Dunia
(2003), pada tahun 2003 terdapat paling tidak 9,5 juta penganggur penuh dan
lebih dari 30 juta setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari
35 jam seminggu. Selanjutnya, terdapat tiga masalah utama pengangguran :
tingkat pengangguran yang tinggi, dampak terburuk pada anak muda dan perempuan,
dan penurunan pekerja sektor formal. Sekitar dua pertiga penganggur adalah
angkatan muda. Dan karena sulit mencari pekerjaan, banyak dari mereka yang
beralih dari sektor formal ke sektor informal.
Terdapat beberapa
program yang bisa dikembangkan untuk mengurangi pengangguran seperti disarankan
oleh Bank Dunia, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
pekerjaan secara langsung.
Berkaitan dengan
penciptaan pertumbuhan ekonomi, perlu mendorong laju investasi sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi dan menciptakan efek penggandaan. Namun,
peningkatan investasi perlu kerja keras karena pemerintah dan masyarakat harus
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk usaha. Antara lain, keamanan harus
dijamin, biaya murah, adanya kepastian hukum, dan kebutuhan infrastruktur
terpenuhi.
Berkaitan dengan
penciptaan lapangan kerja langsung, Indonesia telah cukup pengalaman dalam hal
ini. Yang perlu mendapat perbaikan adalah seberapa efektif penciptaan lapangan
kerja tersebut dalam menyerap tenaga kerja yang benar-benar membutuhkan,
seberapa efektif output dihasilkan dari lapangan pekerjaan tersebut, dan
seberapa sesuai antara kebutuhan masyarakat dengan lapangan pekerjaan yang
tersedia. Bisa jadi, perlu dilakukan perpindahan penduduk dari kawasan
kelebihan tenaga kerja ke kawasan kelebihan permintaan tenaga kerja.
Kemudian menurut saya,
cara-cara untuk menekan jumlah pengangguran antara lain:
a. Menciptakan Sumber Daya Manusia yang
kompeten. Hal ini perlu didukung oleh latar belakang pendidikan para
penganggur, oleh karenanya pemerintah harus ikut mengatasi persoalan ini. Di
negara Korea, aktivitas kampus dimulai dari jam 07.00 sampai dengan 21.00, ini
berarti Indonesia kurang efisien dalam memanfaatkan waktu luang. Terlebih
daripada itu, di Korea sudah memakai sistem digital dalam aktivitas belajar
mengajar, bahkan di universitas negerinya sudah memakai perpustakaan digital.
Sementara itu, Indonesia yang mayoritas kuliah tidak lebih dari 7 jam sehari,
sudah pasti tertinggal dibandingkan negara Korea. Di Korea, 7 jam tersebut
hanya digunakan untuk pembelajaran teori, sisanya ditujukan untuk praktek dan
psikomotorik. Keyakinan saya bahwa Indonesia bisa mengikuti jejak Korea, karena
Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam, jika diolah dengan benar
maka kendala biaya pendidikan akan mudah ditanggulangi.
b. Menciptakan lapangan kerja
sebanyak-banyaknya, jika perlu mengundang investor asing untuk menciptakan
lapangan kerja di Indonesia. Indonesia adalah negara bahari, Indonesia adalah
negara maritim. Negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar,
hasil hutan, gas bumi, hasil laut, hasil perkebunan dan sebagainya dapat
dihasilkan dengan mudah di Indonesia. Jika kekayaan alam diolah, maka akan
menciptakan kebutuhan tenaga kerja sehingga menciptakan lapangan kerja.
Selanjutnya, pemerintah perlu pula menstimulasi para pengusaha dalam dan luar
negeri dengan memberikan kebijakan untuk
menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, dan dalam proyek pendirian lapangan
pekerjaan tersebut pejabat pemerintah tidak mengkorupsi dana terebut.
Pemerintah sudah mulai menjalankan PNPM untuk menciptakan lapangan kerja, hal
ini telah direspon positif oleh masyarakat. Pemerintah mutlak untuk ikut serta
mengurangi jumlah pengangguran, hal ini karena pengangguran menimbulkan
eksternalitas negatif yaitu biaya sosial. Penganggur tidak mempunyai
penghasilan sehingga mereka cenderung mengambil jalan pintas melakukan tindak
kriminal yang merugikan masyarakat, termasuk tindakan kriminal dengan motif
ekonomi.
c. Meningkatkan fleksibilitas dan investasi
tenaga kerja. Fleksibilitas disini artinya, tenaga kerja dapat bergerak bebas,
memiliki akses ke seluruh nusantara bahkan dunia sehingga ia dapat bekerja
sesuai dengan kecakapannya. Indonesia telah meningkatkan fleksibilitas tenaga
kerja, ini terbukti dari jumlah devisa negara yang sebagian besar dihasilkan
oleh TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang dikirim ke luar negeri dan jumlahnya
terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan investasi berhubungan dengan
tenggang waktu dan resiko. Artinya, masalah pengangguran adalah masalah jangka
panjang, oleh karena itu investasi yang dibutuhkan harus jangka panjang pula. Para
penganggur memiliki kemampuan terbatas sehingga mereka harus dididik dan
dilatih agar memiliki kecakapan. Dengan kata lain, pemerintah harus menggalakan
pendidikan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat secara keseluruhan.
Pemerintah sudah menjalankan sekolah gratis dan telah mengalokasikan 20% dari
total APBN untuk hal ini. Sedangkan resiko sangat erat sekali dengan
ketidakpastian akan situasi di masa depan. Artinya, pemerintah harus dapat
meramalakan berapa tingkat pengangguran di masa depan, sehingga dapat
diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan agar pengangguran tetap berada pada
tingkat yang normal di bawah 5%.
d. Menggalakkan budaya Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan. Pengusaha-pengusaha di Indonesia perlu kiranya peduli terhadap
masalah sosial atau pengangguran ini, karena masyarakat adalah konsumen barang
dan jasa dari perusahaan. Budaya peduli di Indonesia masih kurang dari yang
diharapkan. Bila kita kaji dan bandingkan, Upah Minimum Regional di kota-kota
besar masih jauh dari layak, hal ini sesuai dengan Direktorat Jendral Pajak
yang menentukan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 1.320.000 per bulan.
Dengan kata lain, penghasilan sebesar Rp. 1.320.000 per bulan adalah
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara pas-pasan atau layak. Di kota
Cirebon sendiri, UMR yang ditetapkan masih di bawah Rp. 700.000, artinya masih
jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini sekaligus berarti,
perusahaan kurang peduli terhadap pekerja-pekerjanya. Hal seperti ini sudah
membudaya di Indonesia yang notabene didominasi perusahaan-perusahaan milik
keluarga (patrenalistik).
e. Menjalankan sistem produksi dan operasi
yang padat karya (labour intensive). Padat karya bertujuan untuk mengurangi
tingkat pengangguran karena proses produksi yang dahulu menggunakan mesin
digantikan dengan tenaga manusia. Dengan demikian, pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh tenaga manusia sebaiknya dikerjakan oleh manusia dan sebaiknya
dihindari pekerjaan yang menggunakan mesin-mesin.
f. Menciptakan produk yang berkualitas
tinggi. Implikasi apabila suatu produk berkualitas tinggi, produk tersebut akan
mudah diserap pasar, sehingga perusahaan akan tumbuh. Perusahaan yang tumbuh
menjadi besar akan memerlukan cabang-cabang untuk membantu perusahaan melayani pasar.
Sebagai akibatnya perusahaan akan membuka lapangan pekerjaan, yang pada
akhirnya mengurangi tingkat pengangguran.
g. Memperbaiki mental masyarakat, semangat
kerja ulet, tak kenal putus asa, jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya. Di
negara kita terdapat kecenderungan kurang bertanggung jawab, ingin cepat kaya,
mencuri, memalsukan dokumen-dokumen, cepat puas, ingin santai. Demikian pula
bangsa kita, apabila sudah memperoleh uang atau gaji lumayan, mereka cenderung
memperbanyak waktu santai. Istilah yang terlontar dari mulut, “marilah kita
bersenang-senang menikmati hidup yang hanya sebentar,” adalah ucapan yang tidak
bermutu, ucapan orang putus asa. Bandingkan dengan orang Jepang yang daya tahan
bekerja dan kegigihannya dalam berprestasi maksimal, tidak cepat puas dengan
hasil kerjanya, tidak ingin cepat-cepat menduduki jabatan empuk, pandangan
mereka jauh ke depan, sehingga semua dapat direncanakan sejak dini dan tidak
terburu-buru.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para ekonomi di seluruh
dunia sering membicarakan suatu kontroversi antara mereka yang disebut dengan
ekonom klasik dengan ekonom Keynes. Pada dasarnya pakar ekonomi setuju apa yang
harus dicapai dengan pengelolaan ekonomi makro, tetapi mereka tidak sepakat
mengenai bagaimana caranya mencapai tujuan tersebut. Di situlah sentral
kontroversi mereka.
KUBU KLASIK
Ekonom klasik
mendasarkan konsep atau teorinya pada hukum Say (yang dirumuskan oleh J.B.
Say), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa ”pasokan (supply) menciptakan
permintaan (demand)”. Artinya apa saja yang diproduksi akan laku dijual, apa
saja yang ditanam akan laku dikonsumsi, dan apa saja yang dibuat di pabrik akan
laku dijual di pasar. Ini bisa terjadi bila mekanisme pasar secara murni dan
utuh bisa beroperasi dalam sistem perekonomian.
Prinsip tersebut
berlaku apabila dua prinsip berjalan di dalam sistem ekonomi. Prinsip pertama
adalah Laissez-faire. Artinya, peran pemerintah dieliminir, atau diminimalisasi
seminim mungkin. Lalu apa yang dilakukan pemerintah ? Tugas mereka adalah
memastikan agar transaksi bisa berjalan dengan baik. Artinya, tugas pemerintah
adalah menyediakan jumlah uang yang cukup sehingga transaksi bisa berjalan,
jangan sampai ada pihak yang kesulitan mendapatkan uang yang dapat menyebabkan
macetnya perputaran ekonomi. Samuelson dan Nordhaus menyebutkan, ekonom klasik
menggunakan kebijakan moneter, pengaturan jumlah uang beredar, sebagai senjata
utama mengelola ekonomi makro.
Prinsip kedua adalah
semua harga fleksibel. Dalam kondisi ekonomi seperti ini, ‘tangan yang tidak
kelihatan’ (invisible hand) bisa beroperasi mengatur ekonomi menuju kondisi
penuh (full employment). Harga, termasuk upah buruh sebagai salah satu faktor
produksi, bisa dinaikkan atau diturunkan sesuai kondisi pasar yang berlaku.
KUBU KEYNES
Sementara itu, kubu
Keynes tidak percaya pada kemampuan mekanisme pasar. Misalnya, upah buruh tidak
dapat turun seenaknya karena adanya undang-undang yang mengatur upah minimum.
Jadi dalam kondisi resesi sekalipun, tidak mungkin upah buruh diturunkan.
Kalaupun berhasil menurunkan, diperlukan proses negosiasi yang panjang antara
perusahaan, serikat buruh, dan pemerintah. Proses ini semakin memperparah
ekonomi. Itupun akan berhasil bila terjadi kesepakatan penurunan upah. Yang
sering terjadi, negosiasi upah cenderung menaikkan upah, seperti yang
perusahaan-perusahaan alami selama ini.
Perdebatan antara kubu
klasik dan kubu Keynes tidak perlu diperpanjang, karena perbedaan tersebut
hanya terletak pada seni (art) untuk mencapai tujuan ekonomi makro yang dimiliki
masing-masing kubu. “Intinya, ilmunya adalah sama, tetapi seninya berbeda.”
B.
Saran
Untuk mengurangi
tingkat pengangguran, maka harus ada peran pemerintah. Pemerintah harus bisa
mengeluarkan kebijakan yang bisa terciptanya lapangan pekerjaan, serta menjalankan
kebijakan yang konsisten tersebut dengan sungguh - sungguh sampai terlihat
hasil yang maksimal. Pemerintah memberikan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan
kerja kepada masyarakat untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri
sesuai dengan kemampuan dan minatnya masing-masing untuk mengembangkan
kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktifitas dan kesejahteraan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar