Rabu, 26 September 2018

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERSEPSI SENSORI



1.2    Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori
Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.

1.2.1        Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:
  1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera penglihatan sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat penting untuk bisa mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak penglihatan normal seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya ketajaman penglihatan 20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.
  1. Alat:
1)      Kartu Snellen
2)      Lampu senter
3)      Karton untuk menutup mata
  1. Indikasi: pada pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
  2. Kontraindikasi: –
  3. Cara:
1)        Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu snellen ini yaitu:
  1. Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.
  2. Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.
  3. Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai pasien tidak dapat membaca lagi huruf tersebut.
2)      Menilai pasien dengan penglihatan buruk
Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien harus diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari tangan. Cara pemeriksaan menggunakan kemampuan membaca jari tangan yaitu:
  1. Tutup salah satu mata pasien.
  2. Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada jari perawat.
  3. Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan pemeriksaan menggunakan cahaya.
Namun seringkali pemeriksaan sistem penglihatan menghadapi kendala pada pasien anak-anak, orang dengan gangguan mental, dan orang yang berpura-pura tidak melihat karena pemeriksaan ini berfokus pada subyektif,yaitu interpretasi dari respon yang dirasakan pasien. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu teknik pemeriksaan yang berfokus pada objektif dan memiliki korelasi dengan daya penglihatannya melalui alat yang disebut nystagmometer.





Gambar: Kartu Snellen
            Nystagmometer merupakan alat pemeriksaan visus secara objektif yang disasarkan pada gejala faal yang dikenal dengan nama “pursuit eye movement”, yaitu bahwa mata seseorang akan bergerak mengikuti suatu benda yang menjadi perhatiannya, apabila benda tersebut bergerak (Sarwono: 1982). Peristiwa tersebut disebut sebagai optokinetik nystagmus. Intinya, seseorang akan mengikuyi objek penyebab nystagmug-nya tersebut. Semakin kecil objek yang dapat menimbulkan gerakan bola mata akibat mata yang mengikuti gerakan objek tersebut, semakin baik daya penglihatan orang tersebut.
Kelainan pada mata:
  1. Astigmatis
Astigmatis atau yang sering dikenal dengan mata silindris merupakan suatu kelainan mata yang menyebabkan mata penderitanya menjadi kabur. Gangguan ini terjadi akibat penderita tidak dapat melihat garis horizontal dan vertical secara bersamaan. Kornea pada penderita astigmatis berbentuk abnormal. Kornea normal berbentuk bulat seperti bola, tetapi pada gangguan ini kornea mata memiliki lengkungan yang terlalu besar pada salah satu sisinya. Cara menangani astigmatis ini adalah dengan menggunakan kacamata silinder atau lensa kontak.


  1. Miopi
Miopi atau rabun jauh merupakan kelainan mata yang menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat dalam jarak jauh. Penyebab dari miopi adalah bola mata yang terlalu panjang dan bayangan benda yang jatuh di depan bintik kuning. Cara menangani miopi yaitu dengan menggunakan kacamata cekung (negative).
  1. Hipermetropi
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan gangguan pada mata yang ditandai dengan penderita tidak dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat. Penyebab dari hipermetropi ini yaitu adanya kelainan bola mata yang terlalu pendek dan bayangan jatuh di belakang bintik kuning. Cara menangani gangguan ini adalah dengan memakai kacamata lensa cembung (positif).
  1. Presbiopi
Presbiopi atau rabun dekat dan jauh merupakan gangguan mata yang ditandai dengan penderita tidak dapat melihat dalam jarak dekat dan jauh. Penyebab dari gangguan ini adalah semakin berkurangnya daya akomodasi dari mata. Cara mengatasi gangguan ini adalah dengan memakai kacamata berlensa rangkap (atas negative, bawah positif).
  1. Rabun senja
Gangguan ini ditandai dengan penderitanya tidak dapat melihat dengan baik saat malam hari atau kurang cahaya. Penyebab dari gangguan ini adalah kurangnya vitamin A. cara mencegah dan mengatasi masalah ini adalah dengan mengkonsumsi makanan kaya vitamin A.
  1. Keratomalasi
Gangguan ini ditandai dengan kornea mata yang keruh yang penyebabnya kekurangan vitamin A yang sangat parah sehingga penyakit ini merupakan tingkat lanjut dari rabun senja. Apabila hal ini tidak segera diatasi akan menyebabkan kebutaan.



  1. Katarak
Kelainan pada lensa mata karena lensa mata menjadi kabur dan keruh yang menyebabkan cahaya yang masuk tidak dapat mencapai retina. Katarak dapat diatasi dengan cara operasi.
  1. Juling
Kelainan ini sebagai akibat  ketidakserasian kerja otot penggerak bola mata kanan dan kiri. Penyakit ini bisa diatasi dengan cara operasi pada otot mata.
  1. Glaukoma
Gangguan ini ditandai dengan peningkatan tekanan di dalam bola mata karena danya sumbatan pada saluran di dalam bola mata dan pembentukan cairan berlebih dalam bola mata. Gangguan ini bisa diatasi dengan cara pembedahan atau obat-obatan yang diminum seumur hidup.
  1. Buta Warna
Penderita umumnya tidak dapat membedakan warna tertentu misal hijau dan biru. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang tidak dapat disembuhkan akan tetapi ada juga penyebab lainnya misalkan saja karena kecelakaan atau trauma pada mata.

  1. Pemeriksaan lapangan pandangan
Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah menggunakan metode uji telunjuk.
  1. Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
  2. Kontraindikasi: –
  3. Cara:
1)      Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2)      Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3)        Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup mata kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4)        Minta pasien memandang hidung perawat.
5)        Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior lirikan temporal dan nasal.
  1. Pemeriksaan buta warna (tes isihara)
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna merupakan penglihatan warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai cacat penglihatan warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang merupakan gejala dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan mata perlu dilakukan tes isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa adanya kelainan persepsi warna.
  1. Alat dan bahan:
Gambar pseudoisokromatik
b. Teknik:
  1. Kartu isihara diletakkan di tempat dengan penerangan baik
  2. Pasien diminta menyebutkan gambar atau angka pada kartu tersebut dalam 10 detik
c. Penilaian
Bila lebih dari 10 detik berarti terdapat kelainan penglihatan warna buta warna merah hijau terdapat atrofi saraf optik, buta warna biru kuning terdapat pada retinopati hipertensif, retinopati diabetic dan degenerasi macula senile dini. Degenerasi pada macula stargardts dan fundus lamikulatus memberikan gangguan penglihatan warna merah-hijau.
d.Petunjuk Pengisian Gambar
No 1 : semua orang baik normal atau buta warna dapat membaca dengan benar angka 12. Bagian ini biasanya digunakan pada awal test.
No 2 : pada orang normal terbaca “8” dengan defisiensi merah-hijau “3”.
No 3 : pada orang normal terbaca “5” dengan defisiensi merah-hijau “2”.
No 4 : pada orang normal terbaca “29” dengan defisiensi merah-hijau “70”.
No 5 : pada orang normal terbaca “74” dengan defisiensi merah-hijau “21”.
No 6-7 : pada orang normal dapat membaca dengan benar tetapi pada orang dengan defisiensi merah hijau, susah atau tidak dapat membacanya.
No 8 : pada orang normal dengan jelas “2” tetapi bagi defisiensi merah-hijau tidak jelas.
No 9 : pada orang normal susah atau tidak terbaca tetapi kebanyakan pada orang dengan defisiensi merah hijau melihat “2”.
No 10 : pada orang normal angka terbaca “16” tetapi bagi defisiensi merah hijau tidak dapat membaca.
No 11 : gambar garis yang melilit diantara 2 xs. Pada orang normal, dapat mengikuti garis ungu-hijau. Tetapi pada orang buta warna tidak dapat mengikuti atau dapat mengikuti tapi berbeda dengan orang normal.
No 12 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau melihat angka “35” tetapi pada protanopia dan protanomali berat hanya dapat membaca angka “5” dan pada deuteranopia dan deuteranopia berat terbaca angka “3”.
No 13 : pada orang normal dan defesiensi merah hijau ringan melihat angka “96” tetapi pada protonopia dan protonopia berat hanya terbaca “6”.
No 14 : pada orang normal dapat mengikuti garis yang melilit 2 xs, ungu dan merah; pada protanopia dan protanomali berat hanya mengikuti garis ungu dan pada protanomali ringan kedua garis diikuti tetapi garis ungu kurang terlihat untuk diikuti; pada deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya garis merah yang diikuti; pada deuteranomalia ringan kedua garis dapat diikuti tetapi garis merah kurang terlihat untuk diikuti.










Gambar: ishihara test

3.2.2        Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran
Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan telinga juga dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
  1. Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan kata(voice test) atau detakan jam tangan.
  1. Alat: bel kecil
  2. Indikasi: dapat dilakukan pada semua usia yang diduga mengalami gangguan  sensori.
  3. Kontraindikasi: –
  4. Cara:
1)Bayi:
a)      Perawat berdiri di belakang anak.
b)      Bunyikan sebuah bel kecil, bunyikan jari-jari atau tepuk tangan.
c)      Hasilnya: pada bayi yang kurang dari 4 bulan menunjukkan reflek terkejut. Bayi yang berusia 6 bulan/lebih mencoba mencari suara dengan menggerakkan mata atau kepala mereka.
2)Anak usia prasekolah:
a)      Perawat berdiri 0,6 sampai 0,9 meter di depan anak.
b)      Berikan instruksi tertentu pada anak.
c)      Hasil: anak dengan pendengaran normal akan melakukan instruksi.
3)Anak usia sekolah
a)      Berdiri kira-kira 0,3 m di belakang anak.
b)      Perintahkan anak untuk menutup telinganya.
c)      Bisikkan angka pada anak.
d)     Perintahkan anak untuk menirukan angka yang dibisikkan.
e)      Lakukan pada telinga lainnya.

  1. Uji garputala
2.1  Uji weber
  1. Alat: garputala.
  2. Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
  3. Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.
  4. Kontraindikasi: –
  5. Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.
2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.
3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.
  1. Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak terganggu. Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga yang terganggu.





Gambar: tes weber

2.2  Uji rinne
  1. Alat: garputala.
  2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran udara dan tulang.
  3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.
  4. Kontraindikasi:
  5. Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.
2)Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.
3)Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi, dekatkan gigi garputala ke meatus eksternus salah satu telinga.
4)Lakukan cara yang sama pada telinga lainnya.




Gambar: rinne test
2.3  uji Scwabach
  1. Alat: garputala.
  2. Tujuan: untuk membandingkan hantaran bunyi dari 2 subyek.
  3. Indikasi: dapat dilakukan pada anak dan dewasa.
  4. Kontraindikasi: –
  5. Cara:
    1. Getarkan garputala yang dipegang
    2. Letakkan ujung garputalapada lubang telinga pasien
    3. Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,
    4. Lakukan cara yang sama pada telinga subyek kedua atau pemeriksa
    5. Bandingkan hasilnya dari kedua subyek tersebut
    6. Hasil:
1)Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus eksternus setelah tidak terdengar di prosesus mastoideus dan suara dapat terdengar sama baiknya.
2)Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan lewat udara lebih baik dari pada lewat tulang dan segala suara diterima seperti sangat jauh dan lemah.

3.2.3        Pemeriksaan Fisik Pengecap.
Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap. Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan. Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis, gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.
  1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan asam.
  2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.
  3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.
  4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.
  5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.
  6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat pencetus rasa.
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.
3.2.4        Pemeriksaan Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan (taktil)  terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities dan testing higher integrative functions. Basic sensory modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh  traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi.  Adanya lesi pada traktus-traktus tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.

  1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)
    1. Uji sensasi nyeri dan sentuhan
Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-tumpul) dan nyeri tekan.
1)      Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada reflek hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan pengkajian respon melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi 2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun kesulitandan ketidakmampuan  dalam membedakan sensasi, maka hal ini mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia dan hiperestesia.
2)      Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon Achilles normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.
  1. Uji sensasi suhu
Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove and stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer).
  1. Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau dapat juga dengan menggunakan bola kapas.  Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal. Perbandingan sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.
  1. Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh).  Pasien yang dalam keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.
Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki derajat diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk kaki besar.
  1. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)
Uji sensasi vibrasi  dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian pasien diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa merasakan sensasi getaran, maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai pasien dapat merasakan sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an merasakan sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15 detik.
  1. Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan dar sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali setahun.
  1. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)
    1. Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
  1. Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2 titik pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering digunakan untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
  1. Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
  1. Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya lesi sensoris.
  1.  Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan. Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi sentuhan pada sisi tersebut.

2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus  bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:
  1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
  2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau
  3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)
  4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan
  5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau
  6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.

Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.
  1. Defek konduktif
    1. Proses inflamasi
Proses inflamasi  dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.
  1. Massa/tumor
Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.
  1. Abnormalitas developmental
Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktori.

  1. Defek sensorineural
    1. Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus odoran) ke epitel olfaktorius.
  1. Penyebab congenital
Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya, Kallman syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.
  1. Gangguan endokrin
Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau.
  1. Trauma kepala
Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat proses pembedahan kepala atau saraf  dapat menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.



  1. Toksisitas obat sistemik
Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol, amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).
  1. Defisiensi gizi
Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi fungsi pembauan.
  1. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius
Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.
  1. Proses degenerative.
Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer, dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling pesat terjadi pada usia 70an.

Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.
  1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.



Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:
  1. Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.
  1. Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.
  1. Scratch and sniff card
Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar
  1. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.
  1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.


Naska Role Play dan Makalah Komunikasi Terapiutik Di UGD

  BABI PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan ...