Jumat, 01 Februari 2019

TRIAGE


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH TRIAGE
Penggunaan istilah triage ini sudah lama berkembang. Konsep awal triage modern yang berkembang meniru konsep pada jaman Napoleon dimana Baron Dominique Jean Larrey (1766 – 1842), seorang dokter bedah yang merawat tentara Napoleon, mengembangkan dan melaksanakan sebuah system perawatan dalam kondisi yang paling mendesak pada tentara yang datang tanpa memperhatikan urutan kedatangan mereka. System tersebut memberikan perawatan awal pada luka ketika berada di medan perang kemudian tentara diangkut ke rumah sakit/tempat perawatan yang berlokasi di garis belakang. Sebelum Larrey menuangkan konsepnya, semua orang yang terluka tetap berada di medan perang hingga perang usai baru kemudian diberikan perawatan.
Pada tahun 1846, John Wilson memberikan kontribusi lanjutan bagi filosofi triase. Dia mencatat bahwa, untuk penyelamatan hidup melalui tindakan pembedahan akan efektif bila dilakukan pada pasien yang lebih memerlukan.
Pada perang dunia I, pasien akan dipisahkan di pusat pengumpulan korban secara langsung akan dibawa ke tempat dengan fasilitas yang sesuai. Pada perang dunia II diperkenalkan pendekatan triage dimana korban dirawat pertama kali dilapangan oleh dokter dan kemudian dikeluarkan dari garis perang untuk perawatan yang lebih baik. Pengelompokan pasien dengan tujuan untuk membedakan prioritas penanganan dalam medan perang pada perang dunia I, maksud awalnya adalah untuk menangani luka yang minimal pada tentara sehingga dapat segera kembali ke medan perang.
Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di medan perang. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien terhadap hamper 100 juta orang yang memerlukan pertolongan di unit gawat darurat (UGD) setiap tahunnya. Berbagai system triage mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950-an seiring jumlah kunjungan UGD yang telah melampaui kemampuan sumber daya yang ada untuk melakukan penanganan segera. Tujuan triage adalah memilih atau menggolongkan semua pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas penanganan.

2.2. PENGERTIAN
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya (Pusponegoro, 2010).

2.3. TUJUAN TRIAGE
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1.         Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2.         Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3.         Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1.         Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2.         Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3.         Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4.         Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

2.4. PRINSIP DAN TIPE TRIAGE
“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup), The Right Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care Provider.
1.      Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen kegawatdaruratan.
2.      Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview.
3.      Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
4.      Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas terhadap suatu tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.
5.      Tercapainya kepuasan pasien
·         Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat menetapkan hasil secara serempak dengan pasien
·         Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang dapat menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang sakit dengan keadaan kritis.
·         Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga atau temannya.
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :
·         Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
·         Dapat mati dalam hitungan jam
·         Trauma ringan
·         Sudah meninggal
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :
a.       Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
b.      Menilai kebutuhan medis
c.       Menilai kemungkinan bertahan hidup
d.      Menilai bantuan yang memungkinkan
e.       Memprioritaskan penanganan definitive
f.       Tag warna

TIPE TRIAGE DI RUMAH SAKIT
1)      Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
a.       Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b.      Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c.       Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d.      Tidak ada dokumentasi
e.       Tidak menggunakan protocol
2)      Tipe 2 : Cek Triage Cepat
a.       Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregistrasi atau dokter
b.      Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
c.       Evaluasi terbatas
d.      Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera mendapat perawatan pertama
3)      Tipe 3 : Comprehensive Triage
a.       Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
b.      4 sampai  5 sistem kategori
c.       Sesuai protocol

2.5. KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITAS
Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standart, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat system pelayanan kedaruratan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah kondisi klien yang meliputi :
a.       Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b.      Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c.       Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan ABC (Airway /  jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation / Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI
KETERANGAN
Gawat darurat (P1)
Keadaan yang mengancam nyawa / adanya gangguan ABC dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2)
Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Setelah dilakukan resusitasi maka ditindaklanjuti oleh dokter spesialis. Misalnya : pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3)
Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya laserasi, fraktur minor /  tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4)
Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan / asimptomatis. Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)
KLASIFIKASI
KETERANGAN
Prioritas I (MERAH)
Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING)
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh : patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU)
Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan.
Prioritas 0 (HITAM)
Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis.

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Keakutan (Iyer, 2004).
TINGKAT KEAKUTAN
KETERANGAN
Kelas I
Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor) dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas II
Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam, gejala flu) dapat menunggu lama tanpa bahaya
Kelas III
Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis media) dapat menunggu sampai 2 jam sebelum pengobatan
Kelas IV
Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul, laserasi berat, asma); dapat menunggu selama 1 jam
Kelas V
Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak boleh ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang mengancam hidup
Beberapa petunjuk tertentu yang harus diketahui oleh perawat triage yang mengindikasikan kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi :
1.      Nyeri hebat
2.      Perdarahan aktif
3.      Stupor / mengantuk
4.      Disorientasi
5.      Gangguan emosi
6.      Dispnea saat istirahat
7.      Diaforesis yang ekstern
8.      Sianosis
9.      Tanda vital diluar batas normal (Iyer, 2004).

2.6. PROSES TRIAGE
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian, misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat, misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkope, atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)

Alur dalam proses Triage
1.      Pasien datang diterima petugas / paramedic UGD
2.      Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3.      Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4.      Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
a.       Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan internal, dsb
b.      Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstremitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb.
c.       Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d.      Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
e.       Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah, kuning, hijau, hitam.
f.       Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
g.      Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani.
h.      Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
i.        Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah (Rowles, 2007).


2.7. DOKUMENTASI TRIAGE
Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gadar bertindak sebagai advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan pasien (Anonimous, 2002).

Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1.      Waktu dan datangnya alat transportasi
2.      Keluhan utama
3.      Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan
4.      Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat
5.      Penempatan di area pengobatan yang tepat (missal : cardiac versus trauma, perawatan minor vs perawatan kritis)
6.      Permulaan intervensi (missal : balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur diagnostic seperti pemeriksaan sinar X, EKG, GDA, dll

KOMPONEN DOKUMENTASI TRIAGE
·         Tanda dan waktu tiba
·         Umur pasien
·         Waktu pengkajian
·         Riwayat alergi
·         Riwayat pengobatan
·         Tingkat kegawatan pasien
·         Tanda-tanda vital
·         Pertolongan pertama yang diberikan
·         Pengkajian ulang
·         Pengkajian nyeri
·         Keluhan utama
·         Riwayat keluhan saat ini
·         Data subjektif dan data objektif
·         Periode menstruasi terakhir
·         Imunisasi tetanus terakhir
·         Pemeriksaan diagnostic
·         Administrasi pengobatan
·         Tanda tangan registered nurse

Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai dengan standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara continue perawatan pasien berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien kea rah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi pengobatan dan perkembangannya. Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut.

Proses dokumentasi triage menggunakan system SOAPIE, sebagai berikut :
1.      S : data subjektif
2.      O : data objektif
3.      A : analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
4.      P : rencana keperawatan
5.      I : implementasi, termasuk didalamnya tes diagnostic
6.      E : evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan (ENA, 2005)












DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency
Medicine Singapore General Hospital
Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
            Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Wijaya,  S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK

SPGDT (SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU)


SPGDT (SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU)
PEMBAHASAN

A.    Pengertian SPGDT
SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu)merupakan sistem yang didesign berdasar sistem kesehatan nasional untuk memberi pertolongan yang cepat, tepat, cermat pada penderita gawat darurat untuk mencegah kematian dan  kecacatan.
SPGDT terdiri dari beberapa unsur pelayanan yaitu pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan tersebut berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.

B.     Jenis-jenis SPGDT
SPGDT dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      SPGDT-S (Sehari-Hari)
SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit, di Rumah Sakit, antar Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem yang bertujuan agar korban/pasien tetap hidup. Meliputi berbagai rangkaian kegiatan sebagai berikut :
a.       Pra Rumah Sakit
ü  Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat
ü  Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan medik
ü  Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain-lain)
ü  Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulan)
b.      Dalam Rumah Sakit
ü  Pertolongan di unit gawat darurat rumah sakit
ü  Pertolongan di kamar bedah (jika diperlukan)
ü  Pertolongan di ICU/ICCU

c.       Antar Rumah Sakit
ü  Rujukan ke rumah sakit lain (jika diperlukan)
ü  Organisasi dan komunikasi
2.      SPGDT-B (Bencana)
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan Rumah Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada terjadinya korban massal yang memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan sehari-hari dan bertujuan umum untuk menyelamatkan korban sebanyak banyaknya.
a.       Tujuan Khusus :
ü  Mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
ü  Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih memadai.
ü  Menanggulangi korban bencana.
b.      Prinsip mencegah kematian dan kecacatan :
ü  Kecepatan menemukan penderita.
ü  Kecepatan meminta pertolongan.
c.       Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :
ü  Ditempat kejadian.
ü  Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
ü  Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.

C.    Pengembangan SPGDT
Pengembangan SPGDT-S dan SPGDT-B memerlukan beberapa hal yang terlibat, diantaranya yaitu:
1.      Semua jajaran kesehatan
ü  Departemen kesehatan
ü  Direktur RS
ü  Puskesmas
ü  Dinas kesehatan
ü  Kepala IGD
ü  Dokter, perawat, petugas kesehatan
ü  Dan unit kesehatan lain (PMI)
2.      Jajaran non kesehatan
ü  Pemerintah daerah tingkat I dan II
ü  POLRI
ü  Satuan laksana penanggulangan bencana
ü  Pemadam kebakaran
ü  Penyandang dana (Askes, Jasa Raharja, Jamsostek)
ü  Dan komponen-komponen masyarakat lain
3.      Koordinasi
ü  Kesehatan - non kesehatan
ü  Antar ksehatan – ABRI, POLRI, swasta, pemerintah
ü  Intra kesehatan – puskesmas – rumah sakit

D.    Organisasi Penanggulangan Bencana
Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:
1.      Tingkat Nasional               à Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana
2.      Tingkat Propinsi                àSatuan Koordinasi Penanggulangan Bencana
3.      Tingkat Kabupaten            à Satuan Laksana Penanggulangan Bencana
a.       Satgas Kesehatan
b.      Satgas Pekerjaan Umum
c.       Satgas Keamanan dan ketertiban Masyarakat
d.      Satgas Sosial
Penanggulangan bencana memerlukan manajemen pada tahapannya, yaitu:
1.      Tahap Persiapan (Preparedness)
ü  Pengembangan SPGDT
ü  Pengembangan SDM
ü  Pengembangan Sub sistem Komunikasi
ü  Pengembangan Sub sistem Transportasi
ü  Latihan Gabungan
ü  Kerjasama lintas sektor
2.      Tahap Akut (Acute response)
ü  Rescue – triage
ü  Acute medical response
ü  Emergency relief
ü  Emergency rehabilitation
E.     Alur Penanggulangan Bencana
Berikut ini merupakan alur pelayanan medis di lapangan pada penanggulangan bencana:

                Dalam hal ini rumah sakit harus sanggup memberi pelayanan secara cepat, tepat, cermat, nyaman, dan terjangkau untuk mencegah kematian dan kecacatan. Berikut ini label triage dan keterangan tindakan yang harus dilakukan:
1.      Merah       àSegera Ditanggulangi terlebih dahulu
a.       Mengancam Jiwa
b.      Cacat
2.      Kuning     àBoleh Ditangguhkan
a.       Keadaan tidak mengancam Jiwa
b.      Segera ditangani bila yangmengancam Jiwa sudah teratasi
3.      Hijau        àBoleh ditunda & Rawat Jalan
a.       Tidak Membahayakan Jiwa
4.      Hitam       àBoleh Diabaikan & Ditinggalkan
a.       Diurus paling akhir
b.      Sudah tidak ada tanda-tanda vital
c.       Usaha-usaha pertolongan amat sangat kecil keberhasilannya

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. Kebijakan Kemenkes dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (Spgdt) dan Bencana.http://buk.depkes.go.iddiakses tanggal 18 November 2013
Umar, Nazaruddin. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran USU RSUP. H. Adam Malik Medan
            . SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu)http://pertolonganpertamaonline.blogspot.com diakses tanggal 18 November 2013

MAKALAH GAWAT DARURAT (GADAR)


KATA PENGANTAR

          Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat ,Inayah,Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Bantuan Hidup Dasar dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
          Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi  makalah ini. Sehingga kedepannya dapat lebih baik.
          Makalah  ini  kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang  kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.





                                                                                 

                                                                                                                    Penulis



















DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................................... i
Kata Pengantar...................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Bantuan Hidup Dasar (BLS)............................................................................. 3
2.2 Langkah-langkah BLS..................................................................................................... 3
2.3 Perbedaan Langkah BLS................................................................................................. 7
2.4 Penggunaan Sistem ABC Saat ini................................................................................... 8
2.5 Apa itu EMERGENCY MEDICAL SERVICE................................................................. 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 14
3.2 Saran................................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Henti-jantung-mendadak (Sudden Cardiac Arrest/SCA) adalah penyebab kematian tertinggi hampir diseluruh dunia. Banyak korban henti-jantung berhasil selamat jika orang disekitarnya bertindak cepat saat jantung bergetar atau ventrikel fibrilasi (VF) masih ada, tetapi resusitasi kebanyakan gagal apabila ritme jantung telah berubah menjadi tidak bergerak/asystole.
Bantuan hidup dasar adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan napas, membantu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat bantu (Alkatiri, 2007).
 Tujuan bnatuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal (Latief, 2009).
 Tindakan bantuan hidup dasar sangat penting pada pasien trauma terutama pada pasien dengan henti jantung yang tiga perempat kasusnya terjadi di luar rumah sakit (Alkatiri, 2007).
Cedera merupakan salah satu penyebab kematian. Pada tahun 1990 3,2 juta kematian dan 312 juta orang mengalami cedera di seluruh dunia. Pada tahun 2000 kematian akan mencapai 3,8 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan cedera/trauma ak
an menyebabkan penyebab kematian ketiga atau kedua untuk semua kelompok umur (IKABI, 2004).

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan BLS?
2.      Bagaimana langkah-langkah BLS?
3.      Apa perbedaaan langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB?
4.      Bagaimana penggunaan sistem ABC saat ini?
5.      Apa yang dimaksud dengan Emergency Medical Service?

1.3  Tujuan
1.      Tujuan Khusus
Agar mahasiswa memahami tentang BLS serta langkah-langkahnya.
2.      Tujuan Umum
a.       Agar mahasiswa memahami tentang pengertian BLS.
b.      Agar mahasiswa memahami tentang langkah-langkah BLS.
c.       Agar mahasiswa memahami tentang perbedaaan langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB.
d.      Agar mahasiswa memahami tentang penggunaan sistem ABC saat ini.
e.       Agar mahasiswa memahami tentang Emergency Medical Service
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara memberikan pertolongan agar bisa mempertahankan kehidupan korban saat korban mengalami keadaan yang mengancam nyawa, dengan Bantuan Hidup Dasar.















  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaituairway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock.Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan  yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.

2.2    Langkah-langkah BLS (Sistem CAB)
1.         Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel.
2.         Melakukan panggilan darurat.
3.         Circulation :
·         Meraba dan menetukan denyut nadi karotis.Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada.
·         Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban.
·         Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
·         Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.
·         Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur

Gambar 2 Chest compression
·         Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
·         Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
      
4.             Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift.Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.
Gambar 3 Head Tilt & Chin Lift

Gambar 4 Jaw Thrust

5.            Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi.Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
·         Pastikan hidung korban terpencet rapat
·         Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
·         Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
·         Berikan satu ventilasi tiap satu detik
·         Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik.
Gambar 5 Pernafasan mulut ke mulut
·         Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
·         Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
·         Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
·         Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
·         Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
6.      RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
7.      Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak.
       2.3    Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No
ABC
CAB
1
Memeriksa respon pasien
Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual.
2
Melakukan panggilan darurat dan mengambil AED
Melakukan panggilan darurat
3
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
Circulation (Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik)
4
Breathing (Look, Listen, Feel, dilanjutkan memberi 2x ventilasi dalam-dalam)
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
5
Circulation (Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2))
Breathing ( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2))
6
Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :
·         Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa.Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT).Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation).
·         Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses  pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
·         Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya.Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam.Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya  dapat melakukan kompresi dada.

       2.4    Penggunaan Sistem ABC Saat ini
1.      Pada  korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat.
2.      Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.

       2.5    Emergency Medical Service
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu system  yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di bawah ini :



Injury & dissaster

Pre Hospital Stage
Hospital Stage
Rehabilitation
·     First Responder
    AmbulanceService 24jam
·     Emergency Room
·     Operating Room
·     Intensif Care Unit
·      Ward Care
· Fisical
· Psycological
· Social






Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal  istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
·         Siapa penolong pertamanya
·         Berapa lama ditemukannya penderita,
·         Kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat..Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya.Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat darurat.Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat  saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT).Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam bencana (SPGDB).Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu.
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1.      Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung.
2.      Pendidikan 
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel.Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
·         Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
·         Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
·         Menguasai teknik mengontrol perdarahan
·         Menguasai teknik memasang balut-bidai
·         Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai pelayan masyarakat  seperti polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi :
·         Penyakit anak
·         Penyakit dalam
·         Penyakit saraf
·         Penyakit Jiwa
·         Penyakit Mata dan telinga
·         Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.
3.      Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya.Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara.Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik.Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat.Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4.      Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di Indonesia.Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa


5.      Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Langkah BLS yaitu Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual, Melakukan panggilan darurat, Circulation (Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik), Airway (Head Tilt, Chin Lift), Breathing ( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)), Defribilasi. Skema dari EMC yaitu Injury, Pre Hospital stage, Hospital Satge, dan Rehabilitation.

3.2 Saran
          Kami menyarankan agar siapapun yang membaca ini apabila mengetahui adanya korban yang memerlukan  Bantuan Hidup Dasar untuk segera ditolong dengan cepat agar  nyawanya bisa tertolong dengan cepat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. 

















DAFTAR PUSTAKA

ads-java.blogspot.com/2012/01/bantuan hidup dasar.siti rohmah
http//rido248.wordpress.com/2008/08/27all-about-first-aid-part-ii/
Muhammad Ashar. Maret 2011. Planning cardiac emergency medical service with Mobile application in aceh rural. http://www.acehpublication.com/adic2011/ADIC2011-039.pdf
Tirti Lasprita. 3 September 2012. Bantuan Hidup Dasar (BLS). http://www.scribd.com/doc/84871056/Bantuan-Hidup-Dasar.


Naska Role Play dan Makalah Komunikasi Terapiutik Di UGD

  BABI PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan ...